Memberantas Pembajakan Software
Sejak awal Mei lalu, banyak terjadi aksi penyisiran software bajakan gencar dilakukan BSA (Business Software Alliance) dan aparat kepolisian. Sweeping ini merupakan tindak lanjut dari pemberlakuan Undang-undang tentang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) UU no. 19 tahun 2002.
Sejak diberlakukannya UU HAKI no. 19 tahun 2002, terdapat kecenderungan penurunan tingkat pembajakan di Indonesia, dari 89% di tahun 2002, menjadi 88% di tahun 2003 dan menurun menjadi 87% di tahun 2004. Menurut laporan tahunan BSA/IDC Global Software Study yang dirilis bulan May 2005, Indonesia kini merupakan negera dengan tingkat pembajakan ke-5 tertinggi di dunia setelah Vietnam, China, Ukraina dan Zimbabwe. Tingkat pembajakan rata-rata di negara Asia Pacific berkisar 53%.
Sampai saat ini kurang lebih terdapat empat ribu warnet yang terdaftar di Asosiasi Warnet Indonesia (AWARI). Jika satu warnet mempekerjakan empat orang, Maka dikhawatirkan akan ada enam belas ribu pengangguran baru akibat aksi sweeping ini.
Pada Pasal 72 ayat 3 Undang-undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyebutkan pelaku pembajakan dapat dihukum penjara maksimal lima tahun atau denda sebesar maksimal Rp 500 juta. Indonesia sendiri tercatat sebagai peringkat keempat negara-negara pemakai software bajakan di dunia. Angkanya mencapai 88 persen.
Peran Pemerintah
Pemerintah akan menalangi biaya software orisinil yang telah telanjur dilakukan pengusaha warnet. Pemerintah akan memfasilitasi penyediaan software gratis bagi pengusaha warung internet (warnet) se-Indonesia menyusul gencarnya aksi sweeping software bajakan oleh Business Software Alliance (BSA). Pemerintah khawatir aksi sweeping menyebabkan banyak warnet gulung tikar, sehingga memicu banyak orang kehilangan pekerjaan.
Salah satu solusi yang digagas Kemenristek adalah memfasilitasi penyediaan aplikasi berbasis open source untuk internet. Para pengusaha warnet kelak tidak harus menggunakan aplikasi berlisensi seperti Microsoft. Tak kalah penting, mereka bisa mengadopsi aplikasi ini gratis. Kata Kusmayanto, ide ini disepakati pada Senin (27/5) lalu. Sebuah komunitas teknologi informasi yang menyebut dirinya 'The Evangelis' bersedia untuk menciptakan aplikasi open source software tersebut dan membagikannya gratis kepada pengusaha warnet.
''Beri kami waktu satu bulan,'' kata juru bicara 'The Evangelis' seperti ditirukan Kusmayanto. Yang jelas, lanjut Menristek, pada 15 Juli mendatang di aula BPPT akan menggelar demo aplikasi open source untuk warnet. 'The Evangelis' turut hadir.
Di samping itu, pemerintah juga berencana menggagas upaya negosiasi dengan BSA. Yakni, meminta waktu (grace periode) selama maksmimal tiga bulan agar pengusaha warnet ini mencicil biaya aplikasi orisinil tanpa harus terlebih dahulu di-sweeping atau dihukum.
Selain itu, Kusmayanto menengarai terjadinya pelanggaran-pelanggaran saat razia oleh BSA dan kepolisian. Perangkat komputer diangkut dengan tidak mengindahkan standar prosedur sehingga berpotensi rusak. Barang-barang yang disimpan di kantor polisi juga tak sedikit yang raib. ''Kalau sudah begitu, ya bisa tutup usahanya,''.
Alternatif IGOS
Program IGOS (Indonesia Goes Open Source) yang dahulu dicanangkan tampaknya "bisa mati" sebelum
berkembang karena kesepakatan Memorandum of Understanding antara
Ditjen HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) dengan Microsoft
Indonesia.
Bagi orang awam, tidak banyak yang mengetahui apa itu IGOS.
Sosialisasi program IGOS untuk menjadikan aplikasi open sources,
seperti Linux sebagai pilihan dalam aktivitas komputasi sehari-hari,
memang nyaris tidak ada sama sekali. Bahkan, perguruan tinggi sekali
pun hanya terbatas pada penggunaan orang-orang tertentu saja.
Kita mendukung IGOS bukan karena bersikap anti-Microsoft. Tapi,
lebih pada adanya pilihan meluas dan merata bagaimana cara kita
melakukan komputasi sehari-hari. Dan cara paling sederhana sekarang
ini, misalnya, menggunakan OpenOffice untuk keperluan pengolah kata
dan angka.
Rabu, 07 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar